Senin, 27 Februari 2012

Pentingnya Mengembangkan Kearifan Budaya Lokal



Proses Kreatif Teater Melalui Karya Lakon

Moh. Noerdianza



Budaya lokal tradisi Sulawesi Tengah dikenal dengan sejarah tutur. Ini terbukti tidak adanya temuan para ahli arkeolog dan antropolog mengenai peninggalan tertulis, yang ada hanyalah peninggalan batu tua arca menhir sebagai warisan budaya, yang disebut zaman megalitikum. Bermula dari era mesolithikum (era peralihan dari peradaban batu tua yang di sebut paleolithikum menuju pada era peradaban batu muda neolithikum). (Rusdy Mastura, 2008). Di lembah-lembah tersebut rata-rata patung batu tertanam di tanah dengan bentuk yang unik sebagai perwujudan tokoh yang dianut ataupun disegani. Sebagai contoh, patung Tadulako dari lembah Besoa, (simbol panglima perang) pada bagian dada, mata bulat melotot, memakai ikat kepala (pekabalu) dan bagian pelipis terdapat benjolan yang menunjukkan telinga, tangan mengarah ke phallus (alat kelamin) yang menonjol. Menurut mitos diyakini sebagai simbol panglima perang dan nenek moyang, sehingga masing-masing diberikan sesaji untuk mendapatkan berkah. Begitu pula dengan Kalamba (tempat mandi raja) juga dari lembah Besoa, Kecamatan Lore, Kabupaten Poso. Badan Kalamba dihiasi pola hias melingkar dan motif hias hewan. Satu lagi patung yang unik adalah Palindo, replica arca menhir yang terdapat di Situs Padang Sepe, lembah Bada. Patung Palindo dianggap masyarakat sebagai penghibur, yakni perwujudan nenek moyang yang bernama Tasologi yang mampu mengangkat rakyat Bada melawan suku Musamba. Arca ini miring sekitar 30 derajat dengan tinggi 400 cm. Cerita mitos akan lebih menarik apabila ditansformasikan kembali dalam bentuk naskah memperkenalkan kepada khalayak bahwa Sulawesi Tengah memiliki warisan budaya zaman megalitikum. Yudiaryani mengemukakan betapa pentingnya proses transformasi sastra lisan menjadi karya lakon untuk dilestarikan mengingat betapa kayanya negeri ini akan hal itu. 



Berkembangnya zaman berkembang pula pemikiran-pemikiran terhadap seni pertunjukan kreatif. Cerita rakyat yang juga disebut dengan cerita klasik, dalam konteks seni pertunjukan kreatif tidak lagi dipentaskan seolah-olah seperti wujud aslinya, melainkan dijadikan dasar pijakan untuk menciptakan sesuatu yang “baru”. Seperti halnya di negeri Eropa, kita mengenal kisah cinta “Romeo dan Juliet”, “Oidipus”, di Indonesia kita mengenal cerita klasik wong Jowo “Roro Mendut”, pada dewasa ini cerita klasik tersebut di rombak, memutarbalikkan fakta sesuai konteks ke-kinian, dan perubahannya bisa saja dilihat dari perubahan kostum, sett, properti, lakon, make up, pemeranan yang tidak lagi melihat latar belakang waktu, tempat dan peristiwa lampau melainkan peristiwa ke-kinian. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan. Sebelumnya, WS. Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Sardono dan lain-lain. Sudah menghidupkan jiwa-raga tradisi yang akan sesat kalau dicari asal muasalnya ke Barat (Ign Arya Sanjaya, 2009:12).



Dalam disiplin ilmu pertunjukan mengembangkan tradisi budaya lokal ke dalam konteks ke-kinian disebut seni pertunjukan kontemporer. Kontemporer berasal dari kata tempo atau waktu pada masa kini atau dewasa ini. Maka dalam kontemporer tidak ada pertanyaan yang terjawab secara otomatis, tidak ada gaya yang wajib dianut, tidak ada penafsiran yang selalu benar. Jean Paul Sartre mengatakan bahwa manusia mendapat hukuman dengan hidup secara bebas. Dunia teater membebaskan sutradara, kreografer, komposer berhadapan dengan hampir semua kehidupan tanpa batas, yang membawanya pada kegelisahan eksistensial, yaitu kegelisahan yang mengerikan sebagai tantangan yang mendebarkan. Memang kegiatan teater di Indonesia juga ada yang berkiblat ke teater Barat sebagaimana yang dilakukan ATNI, lewat Asrul Sani, Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Tetapi yang lebih tegas dan deras adalah akar teater tradisi (Ign Arya Sanjaya, 2009:13).



Adanya karya-karya lakon yang berangkat dari budaya lokal sebagai batu loncatan bagi para seniman lokal dan pemerhati seni memperkenalkan dan melestarikan kebudayaannya melalui seni pertunjukan teater. Sebab Kesenian itu sendiri tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Bagaimanapun kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari ruang, di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah (Umar Kayam, 1980:38-39).

Sabtu, 25 Februari 2012

Konsep Pertunjukkan "PANOTO MULI"



SENI PERTUNJUKAN
 KONTEMPORER
BERBASIS TRADISI

Pengantar

Indonesia adalah “potret” sebuah negeri yang memiliki potensi seni pertunjukan  cukup besar. Kebhinekaan dan kemajemukan daerah, etnis dan bahasa di Nusantara justru semakin mengukuhkan betapa beragamnya seni budaya kita. Kesenian bukan hanya semata hiburan, melainkan naskah dan dakwa, sebagai media penyadaran,  media pendidikan dan media renungan. Selain sebagai ungkapan ekspresi, seni pertunjukan juga menggunakan idiom-idiom kebudayaan Nasional sebagai alat artikulasi, seperti seni sastra modern, teater modern, tari kontemporer, seni lukis kontemporer. Persoalan sekarang faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan dan sosial ekonomis masyarakat diberbagai belahan bumi ialah proses modernisasi. Pada hakekatnya modernisasi termasuk bagian penting dari proses sosial. Moderniasi sering diartikan sebagai perubahan total dari masyarakat tradisional menuju suatu masyarakat yang maju. Dengan harapan bahwa perubahan ini akan dapat menghasilkan perbaikan nasib. Pengaruh modernisasi dalam bidang kesenian adalah tampilnya berbagai jenis seni yang bermuara pada pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu sendiri.

 

Bentuk Acara

Seni Pertunjukan Kontemporer Berbasis Tradisi berfokus pada kearifan budaya  lokal suku Kaili, mengangkat kisah mitologi dan Musik tradisi pesisir dan pedalaman 

Sanggar Seni yang Tampil

Sanggar seni Lentera kolaborasi dengan beberapa Komunitas, sanggar, kelompok seni yang ada di Kota Palu, yakni Anantovea, KST, Teater Copo, Technokrat 12, Teater 45, Sas Caraka, 3 in 1.




Pertunjukan Teater

Panoto Muli
Naskah sutradara M.Noerdianza

Panoto Mulinaskah sutradara M.Noerdianza berangkat dari mitologi Tomanuru, dan membenturkannya dengan konteks kekinian. Zaman modern ini hal apa saja bisa dilakukan. Tapi sangat disayangkan lebih banyak melahirkan pemikiran negatif ketimbang pemikiran positif. Menciptakan senjata digunakan untuk saling membunuh. Ini sama halnya dengan pemikiran manusia purba. Zaman saja yang berubah tapi pemikiran-pemikiran kita masih sangat primitif suka meniru dan ikut-ikutan masa bodoh apakah itu buruk adanya. Kesenian bukan semata media hiburan, melainkan sebagai naskah dan dakwah, sebagai media penyadaran, media penyampai pesan dan media pendidikan. Apalah artinya kesenian bila terlepas dari derita lingkungannya.              
Semiotika dalam naskahPanoto Muli
Semiotika adalah hukum tanda dan penanda. Gaya, aliran, dan bentuk pemanggungan kontemporer. Tetapi konvensi masa lalu tidak dibuang melainkan sebagai dasar pijakan. Misalnya; penghadiran dua tokoh Tomalanggai dan Tomanuru. Kedua tokoh inilah yang dijadikan dasar pijak mencipta tanda-penanda bahwa Tomalanggai sebagai gambaran manusia itu sendiri. Penghadiran Cahaya melalui LCD Proyektor adalah simbol turunnya Tomanuru atau ilham, yang merubah pola pikir manusia tradisi (kebiasaan yang diajarkan secara turun-temurun ) menjadi modern, yang di visualkan melalui transisi tubuh purba ke tubuh modern. Menggambarkan peristiwa tubuh purba saat beraktivitas dan tubuh purba saat berburu. Sementara pengkajian melalui folklor tidak ditemukan data-data tertulis gaya bahasa maupun dialog di era prasejarah Tomalanggai. Dalam naskahPanoto MuliPenulis tidak serta-merta membuat bahasa, melainkan melalui observasi, ada yang bilang bahasa Kaili dulu hanya 2 huruf, yakni “Ai” berkembang menjadiIya”, lalu kemudian menjadi “Ai iya”. (nara sumber Kais). Ada juga yang mengatakan bahasa Kaili itu seperti penggabungan 4 bahasa, yakni Arab, Cina, Jepang dan India. (nara sumber Djaludin) Dari ke 4 bahasa ini penulis mencoba menggabungkan garis besarnya saja dari ragam bahasa tersebut misalnya; dalam bahasa arab lebih menekankan kataQa’, danKha’. Sementara dalam bahasa cina lebih kepadaCi’, JepangHaiidan India ‘Ceiyadannehy’. Alasan penciptaan bahasa baru ini bukan semata mencari sensasi ataupun sebagainya ini dikarenakan tidak adanya data-data peninggalan sejarah tertulis mengenai gaya bahasa zaman era pra sejarah Tomalanggai. Jadi menurut penulis sah-sah saja mencipta dan membuat kembali bahasa baru kemudian disepakati bersama Aktor dan Sutradara. Bukankah bahasa tercipta melalui sebuah kesepakatan? Sementara penghadiran gerak tari antara Tomalanggai dan Tomanuru sebagai simbol dari sifat manusia yang hidup berawal pada peniruan dan penanda kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki. Serta proses penciptaan ide/gagasan antara manusia dengan pikirannya. Bunyi suara bayi menangis. sebagai simbol berhasilnya proses penciptaan, divisualkan melalui gedung-gedung, tombak, parang,Sumpit.
Lahirnya benda-benda dari hasil penciptaan melalui ide/gagasan atau ilham seperti sumpit, panah, senjata dan parang, malah digunakan untuk membunuh sesama. Dengan anggapan biar dibilang pemberani, biar disegani, biar dibilang hebat, merasa diri benar, tidak mau mengalah dan merasa diri lebih berkuasa. Zaman modern hanya nampak pada perkembangan teknologi, dengan hadirnya gedung-gedung, jembatan dan sebagainya tetapi pada pemikiran individu manusia masih sangat primitif. Contoh kasus yang terjadi dalam realitas sosial kita di Kota Palu, perkelahian sesama suku. Tanpa kita sadari apa bedanya kita dengan manusia primitif.

(M.Noerdianza)


SAKSIKAN PERTUNJUKKAN "PANOTO MULI"
SANGGAR SENI LENTERA

SABTU, 19 MARET 2012
PUKUL 19.30 WITA
TAMAN BUDAYA SUL-TENG
HTM Rp.15.000,-